Ilustrasi gambar tahanan orang Papua di negara Indonesia yang tidak bertanggung jawab , atas pelanggaran HAM berat diatas Teritorial West Papua (19/ 8/2022) ist
Sebuah Refleksi atas tindakan represif Aparat Keamanan Indonesia
Oleh: Zebedeus G Mote
Prolog
Menciptakan Papua Tanah Damai memang sangat sulit. Papua memiliki beragam problem hidup yang juga mengancam eksistensi hidup. Ditengah krisis menciptakan kedamaian diatas tanah ini, banyak aktivis kemanusiaan pun ditangkap oleh pihak keamananan (TNI/POLRI) mengapa? Karena dianggap mengganggu dinamika hidup pemerintahan Indonesia di Papua dan memang ini tanggungjawab Negara untuk mengamankan sekaligus menciptakan suasana yang aman damai di negeri. Kebijakan Negara Indonesia dalam hal mengamankan situasi konflik di Papua masih sangat menyimpang , tidak holistik dan masih jauh dari harapan menciptakan perdamaian.
Jika Indonesia masih mempertahankan cara mengamankan situasi dengan cara demikian maka harapan kita bersama untuk menciptakan perdamaian tentu tidak terwujud. Cita-cita ini tentu untuk memelihara harkat dan martabat sesama manusia sebagai bentuk penghormatan asasi sebagai mana di kehendaki oleh aktivis kemanusiaan dan terlebih untuk mewujudkan impian “pencipta segalah-sesuatu”. Papua tidak aman dan akan ada konflik baru kalau aktivis kemanusiaan itu terus-menerus di tangkap dan dipenjarakan. Harapan dan cita-cita luhur bangsa tentu tidak terwujud dengan baik. Para kawanan aktivis manusia dianggap mengancam Negara karena Indonesia masih “kaku” melihat esensi persoalan secara menyeluruh.
Penangkapan, apakah solusi menciptakan perdamaian?
Pada bagian ini tentu muncul ada dua persepsi. Di kalangan Negara Indonesia mengatakan itu solusi namun bagi orang Papua jawaban atas pertanyaan sub judul diatas ini pasti berbeda. Pemenjaraan aktivis kemanusiaan bukan solusi. Masyarakat luas menilai, hal semacam ini sangat menjauh dari harapan menciptakan perdamaian. Para pejuang kemanusiaan adalah mereka yang peduli nilai-nilai fundamental yang ada dalam kehidupan manusia, jika dianggap pemberontak atau jenis lebel lainnya maka krisis nilai kemanusiaan akan hidup bersama kita dalam suka maupun duka.
Orasi tentang nasib bangsa papua, dianggap merusak tatanan hidup bangsa melayu, nilai manusia pun lompat pagar, nalar keamanan Negara mulai “dihantui setan” sejak lama seakan di didik untuk memangsa “nilai kebenaran” dunia. Perang Iblis sudah di ambil ahli oleh manusia, setan lipat tangan dan duduk di kursi sofa yang penuh dengan darah dan air mata masyarakat kelas kecil sampai besar. Perlu sadari bahwa realitas atas tindakan dunia sudah berubah. Sebenarnya tidak pantas jika penangkapan dan pemenjaraan pejuang kemanusiaan, dijadikan jalan satu-satuhnya cari solusi, jika ada akal sehat cobalah keamanan bangsa Indonesia menyadari hal ini, dimanakah moral aparat keamanan?
Bukan hanya aktivis kemanusiaan, banyak orang Papua ditangkap berhubungan dengan pelbagai insiden, namun penangkapannya sering kurang jelas alasannya, apa lagi butktinya. Alasan penangkapan yang digunakan oleh pihak TNI/Polri adalah ‘person’ itu terlibat atau menjadi pendukung ULMWP atau KNPB. Yang menonjol juga bahwa mereka kemudian diproses hukum dan dijadikan tersangka dengan tuduhan makar (Theo van den Broek, 2020: 122). Indonesia tidak mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses penyelesaikan masalah, mengapa? Karena ditangkap secara paksa. Dalam unsur keterpaksaan, damai berubah menjadi tangisan dan derita yang mendalam. Penjara bukan solusi damai, tetapi hanya menanbah luka. Jika demikian TNI/Polri hentikan penangkapan semena-mena, letakkan akar permasalahan dengan baik.
Bebaskan Tahanan kemanusiaan
Tahanan yang ada di west Papua adalah bukti Indonesia tidak bisa menyelesaikan beragam msalah di Papua. Pejuang kemanusiaan di tangkap semena-semena “bagai binatang buruan”. Kemanusiawian sebagai manusia tidak bisa di perhitungkan lagi, tidak saling menghargai hak asasi sebagai manusia yang bermartabat. Jika pihak keamanan sebagai antek-antek Negara tidak bertindak sebagai manusia yang bermoral maka kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan tentu terjadi sepanjang masa di tanah sengsara Papua, Indonesia sekaligus didunia. Tidak boleh ada penangkapan serupa yang terjadi lagi di masa-masa mendatang, itu bukan solusi dalam proses menciptakan Papua Tanah Damai.
Penulis melihat secara keseluruhan bahwa TNI/Polri seakan manusia ‘tidak beragama’ yang ada di bumi Papua, tindakan yang ditunjukkan itu bagai ‘teoris’. Sikap yang mesti ambil adalah sadar dan tahu diri bahwa yang ditangkap adalah manusia yang beragama harus menjungjung tinggi persamaan hak dan kewajiban. Sistem dan kebiasaan tidak wajar yang di gaungkan saat ini oleh antek-antek Negara, saatnya sadar. Pandanglah sesama manusia Papua sebagai saudara manusia di bumi. Negara Indonesia segerah hentikan penangkapan semena-mena diatas teritori Papua. TNI/Polri harus menjungjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran, mengapa? Karena mengungkapkan persoalan dasar di Papua secara benar, akan memberikan kepuasaan, rasa keadilan dan kebenaran kepada masyrakat, melalui ini tentu awal yang baik menuju rekonsiliasi yang sesungguhnya (Tim SKP Jayapura, 2006: 36-37). Penangkapan atas aktivis kemanusiaan itu terjadi karena ada masalah, maka Negara Indonesia perlu duduk dialog dengan aktivis HAM, Lembaga Bantuan Kemanusiaan (LBH) dan lembaga lain yang bisa dipercaya untuk mencari solusi bersama, demi wujudkan Papua Tanah Damai. Jika terus demikian maka kekerasan tetap melahirkan kekerasan baru dan rakyat sipil tetap korban diatas korban atau korban berjatuhan jika kedua belah pihak tidak sepakati bersama untuk bagaimana menyelesaikan persoalan di Papua.
Epilog
Sejak Papua di integrasikan dalam bingkai NKRI 1963, aktivis kemanusiaan maupun rakyat Papua yang ditangkap, dipukuli, penghilangan nyawa, di vonis makar dan bentuk penganiyaan lainnya, tidak pernah memberikan proses hukum adil, malahan muncul beribu pertanyaan, pukulan dan bentuk penganiayaan lainnya . Salah-satu contoh penangkapan sadis adalah Arnold Clemes Ap , Selama ditahan, Arnold diinterogasi dengan berbagai macam teknik. Melalui cara ini Kopassandha berharap Arnold mengakui bahwa ia terlibat dalam OPM dan membongkar seluruh jaringan OPM, yang menurut Kopassandha terdiri dari dua kubu. Kubu pertama yang revolusioner yang berada di hutan yangberjuang dengan serfata, termasuk di antara mereka,
kalangan tentara Papua di Kodam Cendrawasih yang melakukan desersi. Kubu kedua OPM yang berada di Kantor Gubernur danUncen. Arnold dipaksa untukmemberi tahukan seluruh jaringan OPM yang kemudian akan diberantas secara diam-diam dengan operasi rahasia ( George Junus Aditjondro, 2000: 145). Proses hukum yang adil pun tentu dalam tekanan militer Indonesia. Di satu sisi pihak keamanan dan intelijen memainkan suatu strategi yang sangat sadis untuk mengajukan tawaran ‘pertanyaan’ untuk gabung dalam bingkai NKRI, dalam arti tidak bersuara atas nasib hidup bangsa Papua. Dalam hal ini berbahagialah mereka yang terus murni mau mengabdikan dalam proses perjuangan Suci ini, menuju Papua Tanah Damai sebagaimana yang di impikan oleh manusia Papua dan Moyang Bangsa Papua.
Hemat penulis, supaya tidak terjadi hal-hal demikian mesti cari solusi yang jelas. Solusi yang penulis tawarkan adalah duduk bicara. Aktivis kemanusiaan Papua dan Jakarta duduk dialog mencari solusi secara holistik. Metode yang penulis tawarkan adalah dialog antara Jakarta-Papua. Para pejabat tertinggi Negara Indonesia dan para aktivis kemanusiaan harus duduk bicara. Metode dan langkah-langkahnya adalah pakai rumusan Dialog perspektif Papua dan juga Jakarta. Sebelum duduk bicara tidak perlu saling mencurigai satu-sama lain, mengapa? Karena akan memperhambat dialog Jakarta-Papua.
Penulis Adalah: Anggota Kebadabi Voices, Abepura-Papua
(Vullmembers)