foto Gembala DR. A.G. Socratez Yoman dalam gereja dok The TPNPB News 29 Agustus 2022
Oleh : Gembala DR. A.G. Socratez Yoman
Fakta kesadaran dan hati nurani Pada 17 Desember 2017, ada pelantikan bupati dan wakil bupati terpilih kabupaten Puncak Jaya. Saya diundang dan mengikuti dengan baik seluruh proses pelantikan bupati terpilih periode 2017-2022.
Saya duduk di kursi nomor 1 dari kursi deretan kedua dari kursi deretan pertama. Karena kursi deretan pertama dikhususkan untuk para bupati.
Memang ruang sidang itu kecil. Bapak gubernur Papua, Lukas Enembe, Ketua DPRP Papua, Yunus Wonda, dan Ketua DPRD Puncak Jaya, Nesko Wonda duduk di depan untuk proses pelantikan bupati dan wakil bupati.
Protokol mengajak bapak gubernur dan para undangan dipersilahkan berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Semua hadirin ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Tetapi, saya memilih diam dan tidak ikut menyanyi dan dalam keadaan mulut tertutup dan juga hati tertutup menatap ke depan melihat bapak gubernur dan Ketua DPRP dan Ketua DPRD.
Mengapa saya tidak ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya?
Karena orang tua saya, Ayah dan Ibu, mengajarkan kepada saya, jangan pernah hidup berpura-pura dan menafik dihadapan Tuhan dan sesama. Jangan hidup dihati lain dan pikiran lain tapi berbicara lain. Itu tidak memuliakan nama Tuhan dan tidak menghormati martabat kemanusiaan dan merusak diri sendiri. Hidup harus selalu jujur dan mengatakan yang benar supaya hidup dipelihara dan dilindungi oleh kejujuran dan kebenaran.
Pertanyaan saya, apakah berkata jujur dan benar itu merugikan orang lain?
“Orang jujurlah akan mendiami tanah” (Amsal 2:21). “Orang benar tidak terombang-ambing untuk selama-lamanya” (Amsal 10:30). “Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusan” (Amsal 10:32).”Orang yang jujur dilepaskan oleh kebenarannya” (Amsal 11:6). “Kebenaran menjaga orang yang saleh jalannya.” (Amsal 13:6). “Kebenaran meninggikan derajat bangsa” (Amsal 14:34).
Orang bisa katakan, pak Yoman tidak hargai upacara itu dan sebaiknya ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ada beberapa prinsip sebagai pegangan dan pijakan hidup saya, yaitu,
(1) saya tidak bisa dipaksa oleh siapapun untuk melakukan sesuatu yang ditolak hati dan pikiran saya;
(2) saya tidak boleh memelihara kemunafikan dan ada kepura-puraan dalam hidup saya;
(3) saya tahu, saya sadar dan saya mengerti, lagu itu bukan lagu saya, karena itu lagu bangsa asing, Indonesia; dan
(4) lagu saya “Hai Tanahku Papua.” Lagu “Hai Tanah Papua” adalah lagu kebangsaan saya. Dan bendera saya ialah “Bintang Kejora” bendera kebangsaan saya.
Para pembaca perlu tahu, bahwa saya akan menghormati dan mencitai dan memelihara, kalau lagu dan bendera itu benar-benar milik rakyat dan bangsa saya. Jangan memaksa saya untuk menyanyi Lagu Indonesia Raya dan menghormati bendera Merah Putih, karena itu bukan milik rakyat dan bangsa Papua Barat.
Lagu Indonesia Raya dan bendera Merah Putih adalah simbol-simbol penjajahan dan kolonialisme di Tanah Papua Barat. Pengalaman selama 61 tahun sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang ini kita sama-sama melihat dan menyaksikan dan mengalami ada kekejaman dan kejahatan negara terhadap Penduduk Orang Asli Papua.
- Lagu Indonesia raya dan bendera merah-putih adalah lagu dan bendera penjajah yang telah menjajah bangsa Papua Barat sejak 19 Desember 1961.
- Lagu Indonesia raya dan bendera merah-putih adalah lagu dan bendera yang telah merampas hak hidup bangsa
Papua Barat. - Lagu Indonesia raya dan bendera merah-putih adalah lagu dan bendera yang telah merampok semua hasil alam kekayaan bangsa Papua Barat.
- Lagu Indonesia raya dan bendera merah-putih adalah lagu dan bendera yang telah membunuh puluhan ribu nyawa bangsa Papua Barat dan para pendeta dan Pastor Papua Barat secara biadab.
Doa dan harapan penulis, artikel pendek ini menjadi berkat. Waa…Waa…Wa….
Ita Wakhu Purom, 29 Juli 2022
Penulis:
- Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP).
- Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
- Amggota: Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC).
- Anggota Baptist World Alliance (BWA).